Inflasi Dunia dan Lockdown Tiongkok, Peluang Petani Indonesia

Baca Juga

Menteri Perdagangan RI, Muhammad Lutfi menjadi pembicara pada diskusi panel yang disponsori Channel News Asia (CNA) dari Singapura bertema Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada penyelenggaraan World Economic Forum (WEF) 2022 di Davos, Swiss, Kamis (26 Mei). (dok humas)

DAVOS, Dalam  salah satu panel  diskusi yang disponsori  Channel News Asia (CNA) dari Singapura  bertema “The Biggest Trade Deal in the  World”, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengingatkan semua partisipan bahwa Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) benar-benar bisa menjadi solusi nyata bagi perekonomian dunia yang dilanda inflasi tinggi saat ini. Kondisi   tersebut di akibatkan khususnya oleh hambatan perdagangan dunia yang disebabkan proteksionisme dan perang dagang, serta tidak berfungsinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagaimana mestinya.

“Ketika  negara-negara  yang sudah maju  menerapkan standar  ganda, WTO justru tidak berkutik,” tegas Mendag Lutfi. Cukup  mengejutkan panelis lainnya. Mendag  Lutfi justru mengatakan,“tingginya  harga komoditas dunia saat ini adalah peluang bagi para petani di negara-negara berkembang besar seperti Indonesia,India,   Brasil dan Tiongkok untuk menikmati keuntungan lebih. Ini ekuilibrium baru dalam perdagangan komoditas pangan  dunia. Jangan dirusak dengan menyalahkan salah satu negara misalnya Tiongkok karena posisi dagang yang kurang menguntungkan.  Bahaya kalau beberapa negara maju berkelompok untuk membenarkan standar ganda,” jelas Luthfi.

Hal   yang dimaksud   standar ganda oleh   Mendag Lutfi adalah negara-negara   yang sudah maju menyalahkan dan mengganggu  perdagangan bebas dunia, ketika mereka kurang  diuntungkan posisi dagangnya terhadap suatu negara tertentu,misalnya Tiongkok. Padahal, dahulu ketika posisi dagang mereka diuntungkan sehingga petani di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang makmur, semua negara berkembang dipaksa membuka pasar mereka.“Harus  ada kebersamaan  dan kesetaraan kesempatan  dalam perdagangan bebas dunia,”kata Mendag Lutfi.

Mendag  Lutfi sempat  berdebat cukup  tegang dengan panelis  lainnya yaitu CEO Suntory  Holdings, salah satu produsen  makanan dan minuman terbesar di  dunia asal Jepang, Tak Miinami. Sang  CEO menyatakan pesimis dengan situasi perdagangan dunia saat ini,khususnya karena Tiongkok yang saat ini  menutup pasarnya karena kebijakan Zero-Covid yang diterapkan Presiden China Xi Jin Ping. Sehingga Tiongkok, menurutnya, perlu dibatasi perannya dalam perdagangan dunia.

Mendag Lutfi menyayangkan pandangan tersebut apalagi mengingat Jepang sudah merasakan menjadi negara maju. Menurut  Mendag Lutfi, dunia harus mengakui fakta bahwa ketika Tiongkok mulai mendominasi perdagangan dunia, dampak positifnya  dapat dirasakan seluruh masyarakat dunia dengan harga barang-barang yang semakin terjangkau.

“Kami  di Indonesia  sangat merasakan  betul manfaatnya. Apalagi Tiongkokjuga  menjadi sumber utama transfer teknologi bagi negara-negara berkembang saat ini,” tegas Mendag Lutfi menjelaskan.

Padahal, lanjut Mendag Lutfi, Tiongkok baru bergabung dengan WTO di tahun 2001. Tapi manfaatnya jauh  lebih terasa dibandingkan empat puluh tahun lebih sejak perdagangan dunia didominasi oleh kapitalisme Barat.

“Biarkan  harga pangan  tinggi saat ini  menjadi sinyal agar  petani dan peternak  di negara-negara berkembang   termasuk Indonesia meningkatkan   produksi, sehingga nantinya harga   akan turun dengan sendirinya karena pasokan melimpah,”tegas Mendag Lutfi.

RCEP Peluang dan Katalis

Mendag  Lutfi mengatakan,“RCEP  berpotensi memperbaiki tata  niaga perdagangan dunia. Dari yang sebelumnya berbasis akumulasi dan konsentrasi kemakmuran,   menuju tata niaga baru yang meratakan kemakmuran dan menciptakan kesejahteraan bersama.

”Bila dievaluasi secara jujur, kondisi tersebut adalah akibat dari kompetisi atau persaingan bebas yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro. Oleh  karena itulah tata niaga dunia yang baru harus berbasis kolaborasi yang bermanfaat tanpa adanya diskriminasi atau bersifat inklusif. Bila  seluruh dunia sibuk berkolaborasi maka tidak ada ruang untuk kompetisi yang sering kali berujung kepada konflik antar negara,”tegas Mendag Lutfi.

RCEP  sebagai  perjanjian  perdagangan bebas  terbesar di dunia diikuti  oleh seluruh negara ASEAN ditambah  Australia, Selandia Baru, Tiongkok,  Jepang, dan Korea Selatan. RCEP adalah  kerjasama perekonomian pertama di dunia yang  memiliki Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan sama-sama menjadi anggota. 

“Perdagangan bebas tidak harus berdasarkan persaingan bebas. Melainkan bisa juga dicapai melalui kolaborasi  yang non diskriminatif atau inklusif. Sudah ada bukti keberhasilannya yaitu ASEAN,”tegas Mendag Lutfi.

Model  komunitas  ekonomi bersama  yang inklusif dan  kolaboratif sudah dibuktikan  keberhasilannya oleh ASEAN yang  saat ini merupakan perekonomian terbesar  kelima di dunia dengan total produk domestik  bruto (PDB) mencapai USD3,3 triliun dan total populasi  masyarakatnya 630 juta orang. Padahal sepuluh negara ASEAN  memiliki latar belakang, bentuk pemerintahan, bahkan sistem perekonomian yang sangat beragam.

“Di  belahan  dunia lain  justru menciptakan  pertentangan bahkan perang  dingin, di ASEAN kami merajutnya  menjadi persatuan, kesejahteraan bersama,  dan kolaborasi untuk berperan lebih bagi perekonomian dunia,” tambah Mendag Lutfi. 

Sepuluh negara  ASEAN terdiri atas satu  kerajaan (absolute monarchy),  dua pemerintahan junta militer, dua negara komunis, dan lima demokrasi dengan rasa lokal yang kuat.

“Lewat  RCEP, kami  berharap struktur  dan model ASEAN yang  terbukti relevan dan berhasil  akan menjadi contoh yang diadopsi oleh banyak negara di seluruh dunia,”  tegas Mendag Lutfi. (*/DI)


DETAK VIDEOS
SPORT VIDEOS