SENI OJUNG DESA SALEN YANG MASIH BERTAHAN HINGGA KINI

Baca Juga

Kesenian Tradisional  Ujung Di Desa Salen Kecamatan Bangsal Mojokerto Jatim, Minggu ( 22 / 4 )
Dalam Rangka Ruwatan Desa



" Jangan pernah meninggalkan budaya adi luhung, bangsa yang kuat adalah mereka yang masih memegang teguh budayanya"


KESENIAN rakyat ojung ( ujung ) dimasyarakat Mojokerto Jawa Timur sudah mulai pudar. Kesenian rakyat ini melambangkan, bagaimana rakyat jaman dulu berani melawan kolonial VOC maupun Jepang serta sekutu.

Ditengah – tengah hiruk pikuknya perkembangan jaman teknologi, kesenian rakyat yang satu ini masih hidup disebuah desa pinggiran di Kabupaten Mojokerto. Kesenian ujung menggambarkan betapa gagahnya para pendekar, saling adu kekuatan tubuh.

Mereka saling pukul dengan rotan dengan diameter 0,7 mm dan panjang 1,5 meter. Rotan dikenal sebagai senjata pemukul tubuh yang digunakan oleh para kolonial VOC ketika memukuli para pejuang pribumi yang ingin bebas dari cengkeraman mereka.

Entah siapa yang mengenalkan tradisi ujung di masyarakat Jawa. Yang jelas kesenian tarung ujung ini, pada tahun 1970-1980 akrab di telinga masyarakat Jawa. Kesenian itu sekarang langka dan susah untuk menjumpainya kalau tidak satu tahun sekali.
 
Kades Perempuan Desa Salen Wiwik Nurhayati
Di dampingi Kemlandang Sri Waluyo Widodo
Di Desa Salen Kecamatan Bangsal Mojokerto Jawa Timur, kesenian ujung sudah bagian tradisi didesa mereka. Setiap kali acara ritual ruwat desa, kesenian ini selalu ada. Seperti kemarin, Minggu 22 April 2018. Masyarakat Desa Salen, menggelar ritual adat ruwatan desa.

Agar desa mereka mendapat barokah dari yang Alloh SWT, serta melestarikan kesenian budaya tradisional yang hampir punah.  

Suasana ramai sangat terasa di sepanjang jalan Desa Salen Kecamatan Bangsal Kabupaten Mojokerto. Di sisi kanan-kiri jalan desa selebar lima meter itu dipenuhi para penjual makanan. Di ujung jalan, terlihat banyak orang berkerumun sambil berteriak. Suara gendhing karawitan terdengar kencang dari kantor Desa Salen Bangsal Mojokerto.

Ratusan warga berkumpul mengelilingi sebuah panggung berukuran 5×5 meter. ”Ayo gepuk, ojo loyo (ayo pukul, jangan lemas, Red.),” teriak seorang bapak yang mengenakan udeng dari bawah panggung berteriak menyemangati dua orang yang bertarung di atas panggung.

Dari atas panggung tampak dua lelaki bertubuh kekar saling berhadapan, dengan tatapan tajam, keduanya siap bertarung. Setelah seorang kemlandang mengangkat tangan, keduanya saling melangkahkan kaki ke depan sambil mengangkat tangan yang memegang kayu rotan. Saat melangkah ke depan, keduanya berjoget mengikuti irama musik karawitan yang mengalun.

Salah seorang pemain pun memukul tepat mengenai punggung hingga mengeluarkan melepuh. Namun tidak terllihat rasa sakit. Kedua pemain saling tersenyum, bahkan sesekali tertawa sembari berjoget.

Setelah memukul, kini pemain tadi harus bersiap menangkis pukulan lawannya. Atraksi pukul memukul dilakukan secara bergantian. Kedua orang tersebut bukanlah akan bertinju, apalagi sedang melakukan atraksi pencak silat. Namun, keduanya sedang melakukan pertunjukkan seni ujung.

Dengan menggunakan kayu rotan, kedua lelaki tersebut saling memukul secara bergantian. Setelah terpukul ataupun memukul, kedua lelaki tersebut berjoget mengikuti irama lagu karawitan.



Selain kedua ”petarung” di atas panggung juga terdapat tiga lelaki sebagai pawang atau kemlandang. Salah satu dari kemlandang membawa bokor emas yang di dalamnya berisi beras kuning dan uang logam. Sedangkan dua lainnya melihat apakah terjadi pelanggaran atau tidak.

”Ayo beri semangat, tepuk tangannya,” ujar kemlandang kepada para penonton agar terus menyemangati para pemain sementara keduanya berjoget setelah saling memukul.

Kedua pria yang bertarung saling memukul lawannya secara bergantian. Meski, tubuh mereka melepuh akibat pukulan rotan. Namun semangat yang luar biasa, membuat rasa sakit tidak terasa. Itu menunjukkan kalau mereka lelaki dewasa. Yang harus tahan banting. Didalam menjalani kehidupan didunia yang penuh dengan liku-liku ini.

Setelah hampir tiga menit saling memukul, keduanya dipisahkan dan saling bersalaman tanpa adanya dendam. Saat di bawah panggung, tampak beberapa orang memberikan kulit pisang yang ditempelkan ke luka akibat terkena sabetan rotan. ”Ini gunanya untuk mempercepat sembuh luka,” ujar Akhmad, 34, salah seorang pemain. ”Pertama kena ya rasanya panas dan perih, tapi namanya juga kesenian, ya begini ini,”tambah Akhmad.

Setelah kedua pemain turun dari panggung, kedua pria lainnya kembali naik panggung. Kebanyakan para pemain adalah penonton pria. Bahkan diantara mereka ada pria yang sudah lanjut usia ataupun anak-anak. Tentu saja lawan mereka disesuaikan dengan umur.

”Kesenian ini bukanlah pertandingan, jadi tidak ada yang menang ataupun yang kalah,” ujar Sri Waluyo Widodo, pimpinan Paguyuban Seni Ujung Moyang Mulia yang juga putra dari kepala desa Soedarmo Wijoyo yang dikenal di desa tersebut sebagai pendekar pencak silat. Serta yang mempertahankan kesenian ujung tersebut tetap eksis hingga kini.

Menurutnya, kesenian ujung peninggalan para leluhur. Awalnya, kesenian peninggalan Majapahit ini merupakan suatu ritual yang bertujuan untuk meminta hujan pada Tuhan Yang Maha Esa. ”Tetapi karena perkembangan zaman, maka seni ujung dijadikan suatu kesenian yang perlu dilestarikan,” ujarnya sambil tersenyum.

Lebih lanjut, menurut Sri Waluyo Widodo, di dalam seni Ujung tidak ada unsur permusuhan ataupun unsur balas dendam. ”Seni ujung juga tidak ada yang kalah atau menang, ini hanya seni,” tambahnya.




Sekarang kesenian tradisional rakyat ujung ini sebagai perekat bangsa. Pemersatu pemuda desa dengan warga lainnya. Kita jaga NKRI sampai titik darah penghabisan,’’ tutur dia.

Meski saling memukul, kesenian ini juga memiliki peraturan. ”Daerah badan yang boleh di-bonggol (dipukul, Red) hanyalah bagian badan saja, sedangkan bagian kepala, leher dan bagian di bawah badan tidak boleh dipukul,” ujarnya.

Kedua pemain juga mendapatkan upah yang diberikan setelah permainan. Satu kali permainan biasanya tiap pemain akan diberikan honor sebesar Rp 10 ribu. ”Honor tersebut akan ditambah hingga Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu jika keduanya sama baiknya,” jelasnya.
Sebelum melakukan kesenian ini, biasanya dilakukan ritual yang bertujuan untuk keselamatan. ”Sebelum dilakukan acara ujung, selalu diadakan bancakan (syukuran, Red.). Proses ini biasanya seperti semacam tumpengan tapi ada sandingannya yaitu makanan yang diletakkan di sisi tumpeng seperti pisang, kelapa dan beras,” jelasnya.

Sandingan yang dimaksud memiliki arti di setiap makanan yang disajikan. ”Gedang (Pisang, Red) berarti Ndhang-ndhang, maksudnya agar keinginan yang diharapkan segera tercapai. Beras berarti uwos , maksudnya adalah menghilangkan rasa was was atau rasa takut. Sedangkan kelapa atau klopo artinya tidak terjadi apa-apa atau agar tidak ada sesuatu yang tidak diinginkan,” jelasnya.

Menurutnya, kesenian ujung saat ini memang terlupakan oleh generasi muda saat ini. ”Saat ini memang terlupakan, setahu saya hanya di Desa Salen yang ada paguyuban kesenian ujung,” katanya.

Paguyuban kesenian ujung yang dipimpinnya memang jarang melakukan pertunjukan. ”Dalam setahun paling hanya lima kali, itu juga kalau ada yang nanggap (menyewa, Red),” katanya.

Paguyuban yang dipimpin oleh Sri Waluyo Widodo memang paguyuban yang bertujuan untuk melestarikan kesenian ujung. Paguyuban bernama Moyang Wijaya ini sudah lama berdiri. ”Saya meneruskan tradisi ayah saya, sebelumnya yang mengurus paguyuban memang ayah saya,” katanya.

Kini, meski tanggapan sepi, tetapi paguyubannya memiliki anggota berjumlah 60 orang. ”Mereka selalu latihan di paguyuban secara rutin, latihannya seperti cara menangkis, membonggol (memukul, Red) yang benar,” katanya. ( wib ) 





DETAK VIDEOS
SPORT VIDEOS